Setelah mendapat kritikan tajam dari masyarakat dan LSM Lingkungan pada
awal beroperasinya tahun 2008, bahkan sempat berhenti operasi pada 2012 akibat
tuntutan masyarakat karena masalah limbah, Tambang emas Martabe yang di kelola PT
Agrincourt Resources kini bisa bernapas lega. Martabe sudah lolos dari rongrongan
masyarakat dan LSM dan dapat terus kembali beroperasi dengan menghancurkan alam..
Adalah WALHI yang pada tahun 2013 hingga 2016 masih terdengar gaungnya menyuarakan keprihatinan masyarakat soal kerusakan lingkungan Batangtoru akibat pertambangan emas Martabe.
Bahkan tahun 2014 dengan beraninya WALHI Sumut menuduh menteri melakukan konspirasi dengan tambang Emas Lihat:https://regional.kompas.com/read/2013/02/27/12384380/mediasiber.html. Lembaga swadaya masyarakat ini menduh PT Agrincourt Resources belum mendapatkan izin lingkungan
Kini 5 tahun berselang, gaung kritikan Walhi terhadap tambang emas Martabe yang
lantang itu seakan lenyap ditelan bumi. Hilang bersamaan dengan lenyapnya 2
bukit utama di lokasi pertambangan emas Bukit Purnama dan Bukit Barani, akibat
pola penambangan open pit yang dilakukan PT AR.
Mengutip tulisan Budi Hatees di Detikcom 14 Desember 2017, PT AR
berencana membuka pit baru di Bukit Rimba Joring sebagai lokasi ketiga dari
1.639 km2 luas wilayah dalam Kontrak Kerja yang ditandatangani tahun 1997
sehingga ada kemungkinan luas wilayah yang dibuka akan melebih luas yang
tercakup dalam KK.
Kondisi ini menurut Budi -yang juga peneliti pada institute Sahata, menimbulkan
kekhawatiran, karena wilayah dalam KK merupakan habitat dari sejumlah flora dan
fauna endemik di kawasan Hutan Batangtoru. Artinya, pemerintah pusat harus
mempercepat renegosiasi kontrak dalam rangka menyelamatkan habitat salah satu
fauna endemik, orangutan tapanuli (Pongo tapunuliensis), yang diwujudkan dengan
mengurangi luas wilayah kerja PT AR.
Keberadaan tambang milik PT AR di kawasan Hutan Batangtoru yang merupakan
habitat orangutan tapanuli, membuat satwa endemik itu terancam punah.
Eksploitasi dan ekplorasi di tiga lokasi tambang milik PT AR meninggalkan
lubang-lubang dalam kawasan hutan, sehingga siklus hidup orangutan tapanuli
jadi terputus.
Akibatnya, wilayah siklus orangutan tapanuli dalam mencari makan menjadi
semakin menyempit. Dikhawatirkan, orangutan tapanuli akan menyingkir ke wilayah
perkebunan warga hingga menimbulkan konflik baru.
Meski bertanggungjawab terhadap hancurnya habitat orangutan PT AR tetap tidak memiliki program khusus untuk orangutan hingga kini.
Kehancuran lingkungan oleh kegiatan pertambangan PT AR sudah sedemikian kasat
mata. Kalau kita memasuki wilayah kecamatan Batang Toru dari arah Sibolga, kerusakan
yang terjadi dapat terlihat begitu jelas . Dua Bukit utama telah rata
meninggalkan tanah yang gersang dan lobang-lobang galian.
"Dulu, bukit di sana terlihat jelas dari rumah saya, sayang kini sudah
rata," kata Chairullah, warga kecamatan Batang Toru.
Parahnya, kondisi demikian tidak membuat WALHI yang selama ini dikenal vokal
memperjuangkan lingkungan hidup ini gerah. Dan WALHI seperti kurang gairah
meski lingkungan di area Kontrak Kerja PT AR sudah sedemikian rusak.
Hidayat, geologis lulusan ITB yang pernah membantu survey awal tambang emas ini menjelaskan bahwa tailing limbah hasil pengolahan tambang
disimpan dalam bendungan di atas bukit.
"Saya khawatir, jika ada gempa atau tanah longsor akan menyebabkan
jebolnya tanggul penahaan limbah sehingga akan berbahaya bagi masyarakat yang
ada di sekitarnya," jelas Hidayat.
Kawasan Batang Toru merupakan daerah resapan air yang luas, namun dengan
gundulnya hutan dan hancurnya bukit secara ekologis memberi dampak berkurangnya
penyerapan air hujan ke dalam tanah. Maka wajar jika hujan terjadi, daerah
hilir Batang Toru yang kerap dilanda banjir bahkan kini semakin parah.
Menyikapi hal itu, WALHI tanpa data malah menuduh pihak lain yang juga berada di kawasan Batang Toru sebagai penyebabnya, seperti PLTA Batang Toru misalnya. Meski secara logika hal itu tidak mungkin akibat adanya proyek PLTA mengingat pembangunan baru sebatas pembukaan lahan sementara pembangunan fisik belum dilakukan.
Menurut sebuah sumber, survey awal tambang Emas melibatkan lembaga dan para ahli terkemuka. Untuk orangutan sebut saja Serge A.Wich dan Gabriella Fredriksson. Entah apa rekomendasinya dan sehingga membuat PT AR membabat habis 2 bukit.
Lalu saat ini apa yang membuat WALHI dan para Ahli orangutan seperti Serge A.Wich diam. Bahkan LSM sekelas Mighty Earth pun tidak peduli. Apa mereka sudah sedemikian buta dan tuli?