Di negara demokrasi, pro dan kontra itu hal biasa. Demikian pula pro dan kontra terkait pembangunan PLTA Batang Toru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Hal ini disampaikan Emmy Hafild, pemerhati lingkungan usai Webinar yang diselenggarakan CSERM (Center for Sustainable Energy & Resources Management) beberapa waktu lalu, sekaligus menanggapi fact check IUCN (The International Union for Conservation of Nature) yang menuding klaim dalam publikasi atau siaran pers NSHE sebagai tidak akurat atau menyesatkan.
“Kajian ilmiah dan independen seharusnya menjadi landasan
bersama untuk melakukan kegiatan mitigasi sehingga dapat menjawab permasalahan,
bukannya mempertahankan argumen atas dasar kepentingan semata tanpa data,” ujar
Emmy Hafild.
Emmy menilai, dalam kontek penanganan orangutan di Batang
Toru khususnya di Area Penggunaan Lain (APL), mitigasi sangatlah penting untuk
menjadi dasar dan acuan pengelolaan Kawasan. “Mitigasi ini dasarnya adalah
suatu penelitian atau kajian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah,”
jelas Emmy.
Sementara itu, Didik Prasetyo Ph.D, salah seorang peneliti
dalam tim ahli orangutan Indonesia menyetujui pendapat Emmy Hafild dan
menambahkan bahwa hal penting lainnya adalah transparansi. “Dengan demikian
adalah bagaimana data studi itu dapat diberikan dan kemudian kita bisa sharing
dan bisa kita komparasi, jika perlu dengan Serge Wich dan pihak IUCN lainnya,”
ujar Didik yang juga salah satu anggota IUCN.
Sayangnya, Emmy mengatakan sulit untuk mengajak para
peneliti orangutan asing seperti Serge Wich duduk bersama para peneliti
orangutan asli Indonesia dan membahas penelitian secara ilmiah untuk mencari
solusi bersama terhadap masalah di Kawasan Batang Toru.
“Serge Wich itu sangat arogan dan tidak mau mengakui
keberadaan ahli-ahli Orangutan Indonesia, termasuk ahli-ahli dari PanEco dan
YEL, yang bekerja terus menerus di lapangan” tegas Emmy.
Menurut Emmy, Serge malah mengajak orang-orang untuk
memboikot saat diundang dalam presentasi studi, dengan alasan ahli dari
Indonesia itu sudah dibeli perusahaan. “Tidak fair jika dia meragukan
integritas ahli orangutan Indonesia, hanya karena mereka bekerjasama dengan perusahaan
untuk mencari solusi yang terbaik” tegas Emmy yang juga mantan Direktur
Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup, WALHI ini.
Emmy menilai bahwa yang dibutuhkan saat ini adalah
pembangunan berkelanjutan yang dapat dijadikan landasan utama pembangunan
kawasan Area Penggunaan Lain (APL) di Batang Toru, yang selain memiliki habitat
spesies orangutan Tapanuli - spesies baru yang diumumkan tahun 2017, juga
memiliki nilai ekonomi dan sosial yang tinggi.
“Tiga dimensi utama, ekonomi, sosial dan lingkungan hidup
harus berjalan secara seimbang, kalau tidak seimbang maka pembangunan
berkelanjutan tidak tercapai,” jelasnya
Hal ini didukung Dr. Jito Sugardjito, Direktur CSERM (Center
for Sustainable Energy & Resources Management) yang merupakan ahli
orangutan pertama di Indonesia menegaskan bahwa hal terpenting adalah
manajemennya bukannya memperluas lahan konservasi atau suaka alam. “Orangutan
itu mana mengerti soal lintas batas atau mana kawasan lindung atau APL,”
ujarnya.
Sebuah studi terbaru yang dilakukan CSERM Universitas
Nasional, membuktikan bahwa kekhawatiran beberapa pihak, termasuk IUCN,
mengenai bakal punahnya spesies orangutan Tapanuli akibat pembangunan PLTA di
kawasan tersebut adalah mengada-ngada.
Studi ini juga bertujuan untuk menyediakan data dasar
terkini untuk membantu proses mitigasi dampak untuk Proyek PLTA Batang Toru,
serta mengembangkan strategi konservasi baru yang lebih komprehensif dan lebih
luas untuk orangutan Tapanuli yang jumlahnya kurang lebih 800 individu, di
seluruh habitatnya yang tersisa.
Menurut Jito, dengan mitigasi yang tepat pembangunan PLTA
Batang Toru tidak akan menyebabkan punahnya orangutan Tapanuli bahkan kehadiran
PLTA Batang Toru justru dapat menjaga kelestarian orangutan Tapanuli. Penerapan
prinsip ekonomi berkelanjutan akan membantu perlindungan orangutan yang berada
di APL.
Didik Prasetyo Ph.D salah satu anggota tim ahli orangutan
Indonesia menjelaskan bahwa studi tersebut memprediksikan sekitar 6 individu
orangutan menggunakan kawasan hutan PT NSHE
pada saat yang bersamaan. “Perlu studi lebih jauh lagi, mengenai
perilaku dan ekologi orang utan yang berada di sekitar lokasi,” ujar Didik.
Dalam kegiatannya Didik juga menyoroti perlunya peningkatan
upaya pemantauan untuk mengurangi deforestasi dan perburuan, dan untuk
meminimalkan konflik manusia-orangutan.
Kawasan APL adalah kawasan yang berada dibawah wewenang
pemerintah otonom kabupaten dan hal Ini adalah realitas demokrasi di Indonesia.
Penghentian proyek tidak akan didukung, kepentingan ekonomi masyarakat juga
perlu diperhitungkan.
“Perlindungan orangutan di APL memerlukan dukungan
pemerintah kabupaten. Kegiatan ekonomi apa yang cocok dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan di sana harus ditetapkan bersama dengan segera, yang
dapat menjaga tegakan hutan habitat orangutan, yang tidak menganggu
konektivitas antara populasi kecil dengan populasi besar, di mana perburuan dan
penebangan liar dihentikan dengan menggeliatkan ekonomi berkelanjutan,” jelas
Emmy.
Menurut Emmy, hal itu semua perlu kerja nyata di lapangan,
kolaborasi antar pihak, LSM, pemerintah kabupaten, BKSDA, ahli orangutan dan
masyarakat setempat. “Hanya sekedar berteriak di media massa dan menyerukan penghentian proyek PLTA, dengan data yang salah pula, tidak akan
menyelesaikan masalah,” ujarnya.
Lebih lanjut ia menegaskan, “Demokrasi bukan hanya sekedar
berbeda pendapat tapi juga perlu kerja-kerja yg memberi solusi efektif dan
segera, sesuai realitas di lapangan, terutama wewenang pemerintahan otonomi
kabupaten”.
Comments
Post a Comment